Latar Belakang
Dewasa ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka pengembangan ekonomi nasional telah menempatkan wilayah ini pada posisi yang sangat strategis. Kebutuhan sumber daya pesisir dan laut dalam negeri meningkat sejalan dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk sehingga mengakibatkan tekanan terhadap ruang pesisir semakin besar. Berbagai pembangunan sektoral, regional, swasta dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan pesisir seperti sumberdaya perikanan, lokasi resort, wisata, pertambangan lepas pantai, pelabuhan laut, industri dan reklamasi kota pantai serta pangkalan militer. Ditambah lagi dengan adanya salah tafsir tentang persepsi otonomi daerah, dengan anggapan bahwa otonomi daerah semata–mata berorientasi pada upaya peningkatan PAD.Hal ini menimbulkan persoalan pembangunan wilayah darat dan wilayah laut, khususnya kawasan pesisir perlu perencanaan dan pengendalian kelestarian ekosistem. Bila dilihat kondisi yang ada banyak terjadi penyimpangan pemanfaatan tetapi banyak juga sumberdaya potensial yang belum dioptimalkan dan sebagian lagi bahkan belum dimanfaatkan.
Wilayah pesisir merupakan habitat utama dari hutan mangrove di Indonesia. Wilayah ini dikenal sarat dengan keindahan dan sekaligus konflik kepentingan, sehingga ekosistem di wilayah tersebut menghadapi berbagai ancaman dan masalah perusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, seperti pekerjaan reklamasi pantai, pengeboman dan peracunan terumbu karang, pembangunan perumahan, jembatan penghubung antar pulau, pembangunan dermaga, pencemaran limbah rumah tangga dan industri, penebangan dan konversi mangrove menjadi lahan pertanian, tambak, kolam ikan, daerah industri dan sebagainya, sehingga menghilangkan sebagian besar mangrove, terutama di negara tropis, seperti Indonesia.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman serius dan terus meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya.
Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai.
Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secara keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri.
Barangkali ancaman yang paling serius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram.
Berbagai kebijakan dibuat oleh pemerintah antara lain dengan menetapkan kawasankawasan tertentu yang dapat dijadikan sebagai kawasan yang dapat dieksplotasi, dan kawasan-kawasan yang harus dilindungi. Namun bukan berarti kawasan-kawasan tertentu yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang dapat dieksploitasi, baik eksploitasi sumber daya alam hutan, tambang, minyak dan gas, ataupun sumber daya laut, dapat dieksploitasi dengan semena-mena dan melupakan perhatian aspek daya dukung lingkungan, kerusakan lahan, maupun upaya-upaya rehabilitasi.
Banyak kritik yang muncul terhadap keseriusan pemerintah selama ini dalam mengelola kawasan konservasi. Hal ini disebabkan karena berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada justru memberi legitimasi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, sementara upaya perlindungan dan konservasi bukanlah merupakan prioritas yang setara. Oleh karenanya ada kesan bahwa kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi seolah aturan pelengkap, dan bukan memainkan peran sebagaimana misi sebenarnya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang dapat disimpulkan adalah :
1. Mengapa perlu dilakukan upaya konservasi terhadap ekosistem mangrove di Indonesia?
2. Kebijakan seperti apa yang telah dikeluarkan pemerintah dalam mengelola konservasi ekosistem mangrove?
3. Apakah pelaksanaan kebijakan tersebut sudah terlaksana dengan baik? Jika belum,solusi apa yang bisa ditawarkan untuk memperbaiki kebijakan tersebut?
Tujuan
1. Menganalisis pentingnya konservasi mangrove.
2. Mengidentifikasi kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah tentang konservasi ekosistem mangrove.
3. Menganalisis kebijakan yang ada dan membirikan solusi untuk memperbaiki kebijakan yang ada.
Definisi Konsep
Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Fungsi Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga,
• sebagai pengatur iklim mikro.
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,pewarna),
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.
Konservasi
Konservasi sumber daya alam hayati dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi dalam perspektif Undang-Undang Konservasi Nomor 5 Tahun 19903 dijabarkan dengan berbagai bentuk pengelolaan kawasan yang mencakup Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), Cagar Biosfer dan Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam). Dalam pengelolaan ketiga bentuk kawasan ini sama sekali tidak dicantumkan bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun masyarakat serta bentuk keterlibatan pihak pemerintah daerah dan masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut. Masyarakat hanya dilibatkan sebagai peserta untuk diberi pendidikan dan penyuluhan mengenai konservasi.
Konservasi Mangrove
Salah satu degradasi sumberdaya pesisir yang sangat menonjol adalah degradasi hutan mangrove sebagai akibat pembukaan lahan atau konversi hutan menjadi kawasan pertambakan, permukiman, industri dan lain-lain. Selain konversi, degradasi hutan mangrove juga terjadi akibat pemanfaatan yang intensif untuk bahan bakar, bangunan dan daunnya sebagai makanan ternak, serta penambangan pasir laut di sepanjang pantai bagian depan kawasan mangrove. Salah satu indikator tercapainya pengembangan program pengelolaan sumberdaya pesisir disuatu wilayah adalah keberadaan mangrove di wilayah pesisir tersebut sesuai dengan kaidah fungsinya. Perencanaan konservasi mangrove merupakan salah satu upaya untuk membantu pengembangan program pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. Adapun tujuan dari studi ini adalah mengidentifikasi dan inventerisasi keberadaan kawasan mangrove, menganalisis kesesuaian lahan konservasi mangrove dan memberikan deskripsi perencanaan konservasi mangrove.
Identifikasi Kebijakan Yang Ada
Kebijakan Pemerintah & Peraturan Perundangan Yang Mengatur
Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena kawasan konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan hukum konservasi pun pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hukum pengelolaan sumber daya alam.Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar negara yang merupakan landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa :“Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sumber daya alam tersebut, berdasarkan penjelasan dari UUD tersebut adalah Pokok-pokok kemakmuran rakyat, dan dipergunakan sebesar-besarnya (untuk) kemakmuran rakyat. Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam telah diintegrasikan ke dalam GBHN, sejak GBHN I (1978-1983). Masing-masing GBHN dan REPELITA memiliki Bab yang khusus berbicara tentang lingkungan hidup, termasuk di dalamnya kebijakan tentang konservasi mangrove.
Secara tersirat,kebijakan yang mengatur tentang pengadaan dan pengelolaan konservasi mangrove telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung,karena ekosistem mangrove merupakan salah satu bagian dari hutan lindung (kawasan pantai berhutan bakau). Keputusan Presiden tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Keppres 32 Tahun 1990) adalah peraturan pertama yang memberikan pengertian secara rinci mengenai berbagai kawasan lindung. Terdapat lima belas (15) kawasan yang dijadikan sebagai kawasan lindung,dan salah satunya adalah ekosistem mangrove. Tujuan dari pengelolaan kawasan lindung adalah untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Sementara sasaran dari pengelolaan kawasan lindung adalah meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa, dan mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam.
Pelaksanaan Kebijakan
Berbagai program dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pelestarian Alam dan Perlindungan Hutan (Ditjen PHPA)untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut sehubungan dengan kegiatan konservasi, yang secara umum menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan dan evaluasi. Pengelolaan termasuk di dalamnya pemantapan kawasan, penyusunan rencana pengelolaan, pembangunan sarana dan prasarana, potensi kawasan, perlindungan dan pengamanan kawasan, kegiatan penelitian dan pendidikan, pengelolaan wisata alam hingga pengembangan integrasi dan koordinasi.
Namun demikian berbagai kebijakan, produk hukum, kelembagaan maupun program-program yang ada ternyata tidak menunjukkan atau memberikan hasil yang signifikan berupa terlindunginya berbagai kawasan konservasi beserta berbagai keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Apalagi harapan untuk meningkatkan – baik secara kualitas maupun kuantitas,berbagai spesies yang ada. Upaya pemerintah untuk mengantisipasi berbagai tindakan perusakan atau eksploitasi dikawasan-kawasan konservasi tampaknya belum optimal dan tidak mampu mencegah lajuvperusakan ataupun upaya eksploitasi berbagai keanekaragaman hayati.Pemerintah tampaknya menghadapi kesulitan untuk melaksanakan upaya-upaya konservasi, yang disebabkan oleh :
• Pertama , tidak adanya istilah yang baku terhadap kawasan yang dilindungi. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, menggunakan istilah Kawasan Lindung. Sementara itu Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE) cenderung menggunakan istilah konservasi.
• Kedua, adanya dualisme kebijakan pemerintah yang di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan-kawasan tertentu dan menetapkannya sebagai kawasan konservasi,namun di sisi lain membuka peluang kawasan-kawasan tersebut untuk dieksploitasi.
• Ketiga, adalah lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku perusak kawasan-kawasan konservasi. Berbagai aktifitas yang nyata-nyata mengancam atau bahkan telah merusak kawasan konservasi seringkali tidak dikenakan peringatan ataupun sanksi yang tegas.
• Keempat, kuatnya egosektoral, yang terlihat dari rekomendasi dan ijin yang sangat longgar untuk masuk daerah konservasi sehingga banyak para pembalak liar kayu bakau tidak terdeteksi.
• Kelima, Masyarakat sekitar kawasan konservasi masih kurang dilibatkan dalam pengelolaan bersama kawasan konservasi. Bahkan dianggap sebagai musuh yang selalu merambah kawasan. Oleh karenanya ada asumsi harus diberi pendidikan dan penyuluhan mengenai konservasi.
Akar dari berbagai persoalan dan konflik di dalam pengelolaan sumber daya alam adalah ketidakadilan dalam alokasi sumber daya alam itu sendiri. Di sisi lain pengelolaan yang sentralistik telah mematikan potensi Pemerintah Daerah --termasuk peluangnya untuk mengembangkan daerah sesuai kebutuhan dan keinginan sendiri, dan tidak adanya hak dasar masyarakat untuk mengelola sumber daya alam yang terdapat disekitar mereka.
Di sisi lain, dari sisi teknis di lapangan, kebijakan ini belum dapat dilaksanakan karena petunjuk teknis yang terkait dengan pengelolaan konservasi lokal belum dikeluarkan secara merata oleh Dinas Kehutanan yang ada di setiap daerah,ada yang sudah dan masih banyak pula yang belum.
Solusi & Tawaran Penyempurna Kebijakan
Rekomendasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mangrove
Kawasan konservasi memiliki peran dan arti penting dalam kehidupan, karena ia memiliki nilai-nilai nyata dan intrinsik yang tidak terhinggaa: ekologi, ekonomi, sosial.Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan yang baik yang diantaranya dengan menekankan desentralisasi dan peran serta masyarakat.Beberapa tawaran yang mungkin bisa diajukan adalah:
1. Mewujudkan pengelolaan sumber daya alam – termasuk kawasan konservasi,yang adil, transparan dan dilaksanakan secara bertanggung jawab dan konsekuen.
2. Memberdayakan pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan konservasi,kelestarian dan ekonomi.
3. Mewujudkan desentralisasi – dimana kewenangan berada di tangan Pemerintah Daerah, sejak dari perencanaan, penunjukan, penataan,penetapan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembiayaan , termasuk pengambilan dan penentuan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi, yang tetap dikordinasikan dengan Pemerintah Pusat.
4. Menempatkan peran serta dan akses masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Strategi dan Pelaksana Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001).Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Saat ini bisa pula dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan,institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi. Dengan demikian kebijakan-kebijakan dan peraturan perundang-undangan dimasa yang akan datang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat setempat, disamping itu juga harus komprehensif, terintegrasi, konsisten, serta tidak tumpang tindih baik kebijakan dan peraturan yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal.
Referensi
• Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
• Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove).Jakarta, Indonesia.
• Soeriaatmadja, R.E. 1997. Kebijaksanaan dan strategi pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia. Makalah Seminar Nasional Biologi XV. Bandar Lampung 24–26 Juli 1997. Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Lampung, Bandar Lampung. 19 hlm.
• http://www.ekomangrove.com (diakses 12 Juni 2011 Pkl. 20.00 WIB)
• http://www.wikipedia.com/perencanaankonservasimangrove (diakses 14 Juni 2011 Pkl.15.00 WIB)
• http://kolom-mario.blogspot.com/Sahabat Lingkungan (diakses 14 Juni 2011 Pkl. 20.00 WIB)
• http://rimbaraya.blogspot.com (diakses 15 Juni 2011 Pkl.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar