Senin, 03 Oktober 2011

Prinsip Good Financial Governance Dalam Penyusunan APBD

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
    Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian utama, yaitu, Desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat; Desentralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah (Ateng Syaifudin, 2006:17). Karena itu Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan sususnan pemerintahannya di tetapkan dengan Undang-Undang.
Perjalanan otonomi daerah di Indonesia diawali oleh tumbangnya pemerintah orde baru yang sentralistis. Reformasi tata pemerintahan akhirnya melahirkan model desentralisasi yang paling masif di dunia, sistem sentralisasi yang pernah di terapkan, di mana semua urusan negara menjadi urusan pusat, pusat dalam hal ini pemerintahan yang dipusatkan pada pemerintah pusat, pusat memegang semua kendali atas semua wilayah atau daerah di Indonesia, dan daerah harus melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.
    Dalam penjelasan tersebut, daerah dapat diartikan bahwa daerah Indonesia dibagi dalam daerah provinsi, daerah provinsi dibagi dengan daerah yang lebih kecil. Dengan penerapan sistem terpusat di segala bidang kehidupan ternyata tidak dapat menciptakan kemakmuran rakyat yang merata di seluruh daerah, karena jauhnya jangkauan dari pusat, sehingga kebanyakan daerah yang jauh dari pemerintah pusat kurang mendapatkan perhatian, dan tujuan membangun Good Governence belum dapat terwujud.

Berakhirnya rezim orde baru, berganti dengan era reformasi, mengubah cara pandang untk mewujudkan Good Governence, salah satunya dengan adanya otonomi daerah, karena Otonomi Daerah dapat mengembangkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu penerapan Otonomi daerah sebagai wujud amanat daru Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 5 yang berbunyi “Pemerintah daerah menjalankan Otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”.
Perlu juga diketahui, Indonesia bukan salah satu negara yang berhasil dalam penerapan otonomi daerah guna membangun Good Governance, beberapa indikator di antaranya adalah, masih sangat buruknya manajemen penyusunan APBD dalam tiap daerah.Proses penyusunan APBD yang carut marut, tidak transparan serta jauh dari kata akuntabel membuat rapor Indonesia dalam penyusunan keuangan daerah berwarna merah dibandingkan dengan Negara lain yang juga telah menerapkan otonomi daerah.Ini dikarenakan penyusunan tiap APBD di tiap daerah sangat jauh dari kata baik.Dalam fakta lain,daya saing Indonesia pada tahun 2007 berada pada urutan 54 dari 55 negara (sumber Internasional Institute for Management Development), rangking 3 sebagai negara koruptor, Indeks pembangunan manusia tahun 2007 urutan ke 112 dari 117 negara, daya tarik investasi urutan terakhir dari ASEAN. Dari fakta tersebut kurang berhasilnya membangun Good Governance juga di pengaruhi atas kurang berhasilnya pelaksanaan Otonomi Daerah,yang tercermin pada buruknya penyusunan APBD.

Rumusan Masalah
1.    Apakah pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 kaitannya dengan Otonomi Daerah sudah terlaksana dengan baik dalam membangun Good Governance?

PEMBAHASAN
Kebijakan Publik
    Serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang actor politik atau sekelompok actor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana keutusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para actor tersebut (W.I. Jenkins). Sementara itu Carl Friendrich menjelaskan bahwa kebijakan public adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Lingkup Kebijakan Publik
    Kebijakan publik dapat dilihat dari tiga lingkungan kebijakan, yaitu perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan penilaian (evaluasi) kebijakan. Pada tahap penilaian (evaluasi) apakah suatu kebijakan telah berlaku secara efektif atau belum, ada unsur-unsur yang berperan di dalamnya. Suatu peraturan perundang-undangan akan menjadi efektif apabila dalam pembuatan maupun implementasinya didukung oleh sarana-sarana yang memadai.
Unsur-unsur yang mana harus diperhatikan agar hukum (dalam hal ini peraturan perundang-undangan) dapat digunakan secara efektif sebagai suatu instrumen (kebijaksanaan publik ) dan batas-batas kemungkinan penggunaan yang demikian itu adalah suatu langkah yang penting baik secara teoritik maupun praktis, oleh karena perkembangan studi-studi kebijaksanaan dalam peraturan perundang-undangan menyangkut permasalahan hukum dan perilaku sosial. (Bambang Sunggono,1994: 154 – 155).


Analisis UU No. 32 Tahun 2004
    Evaluasi kebijaksanaan publik (dalam praktiknya) banyak dilakukan untuk mengetahui dampak dari kebijaksanaan publik. Dampak yang dimaksudkan disini adalah dampak yang dikehendaki oleh suatu kebijaksanaan publik, artinya dampak tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam pembahasan terkait dengan keberadaan Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004, maka bentuk kebijakan publik ini diartikan sebagai bentuk pengesahan formal penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konteks Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sebelumnya menggunakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Perlu diketahui terlebih dahulu makna dari otonomi daerah dalam bahasan ini, otonomi daerah menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 yaitu “hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan dan pemerintahan dan kepentingan daerah setempatsesuai dengan peraturan perundang-undangan”, sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 32 Tahun 2004 yaitu “adalah kesatuan daerah hukum yang mempunyai batasan wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Roh dari kebijakan otonomi daerah adalah desentralisasi kewenangan, dan bicara mengenai desentralisasi merupakan salah satu bentuk dari pemindahan tanggung jawab, wewenang dan sumber-sumber daya (dana, personil, dll) dari pemerintah pusat ke level pemerintahan daerah.
Dasar dari pemikiran yang demikian, tidak lain bahwa dengan desentralisasi dapat memindahkan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Karena merekalah yang akan merasakan langsung pengaruh program pelayanan yang dirancang, dan kemudian dilaksanakan oleh pemerintah Membicarakan otonomi daerah tidak bisa terlepas dari masalah pembagian kekuasaan secara vertikal sesuatu negara. Dalam sistem ini, kekuasaan negara akan terbagi antara ‘pemerintah pusat’ disatu pihak, dan ‘pemerintah daerah’ di lain pihak. Sistem pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain, tidak akan sama, termasuk Indonesia yang kebetulan menganut sistem Negara Kesatuan. Kewenangan otonomi daerah di dalam Negara Kesatuan, tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh dari daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya menurut kehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk memberikan otonomi yang luas kepada daerah.
Di kaitkan dari penjelasan di atas, dengan adanya UU No. 32 tahun 2004 ini maka daerah berwenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan publik dalam pelaksanaan otonomi daerah terwakili dengan lahirnya perda sebagai dasar hukum tindakan pemerintah daerah untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan wewenangnya. Namun demikian pada beberapa daerah masih ditemui perda-perda yang dinilai bermasalah, terutama yang berkaitan dengan retribusi dan pajak yang tidak masuk akal dan menjadi peluang terjadinya pungutan lair yang dilakukan daerah demi meningkatkan pendapatan daerah. Asas otonomi daerah memang memberikan kewenangan pada daerah untuk mengelola dengan kebebasan yang luas namun masih dalam ikatan negara kesatuan yaitu Republik Indonesia. Hal ini pula yang menjadi alasan bahwa pusat masih memiliki kewenangan yang masih tetap harus dipertahankan dalam rangka melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, terutama berkaitan dengan peraturan daerah, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 145 ayat (2). Pasal tersebut mengatur kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan peraturan daerah  yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam bentuk Peraturan Presiden, meskipun peraturan tersebut telah disahkan dan diumumkan dalam lembaran daerah.
Kewenangan pengawasan ini merupakan bentuk tidak lepasnya hirarki pemerintahan vertical sekaligus mematahkan pendapat bahwa dalam otonomi daerah, pusat tidak boleh lagi mencampuri urusan pemerintah daerah. Pengawasan pusat pada daerah terutama perda merupakan pembenaran kewenangan ini dengan melihat masih terdapat peraturan daerah yang digunakan sebagai peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan otonomi daerah.
Selain itu juga terdapat kekhawatiran apabila terdapat penekanan yang mendahulukan kepentingan lokal akan melahirkan pemerintah yang bercorak desentralistik, sedangkan yang lebih mengutamakan stabilitas nasional, keutuhan bangsa dan kepentingan secara keseluruhan akan menimbulkan pemerintahan yang sentralistik.
Pembangunan otonomi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 diartikan untuk lebih mengembangkan dan memacu pembangunan daerah, untuk memperluas peran serta masyarakat, serta lebih meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dengan memperhatikan kemungkinan pengembangan dan pemanfaatan potensi daerah dan diharapkan saling mendukung dengan kemampuan nasional. Sedangkan pelaksanaan otonomi daerah ditujukan pada perwujudan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab. Tujuan Pembangunan Daerah itu sendiri adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui pembangunan yang serasi dan terpadu baik di desa dan di kota maupun antara Sektor pembangunan, dengan perencanaan pembangunan daerah yang efisien dan efektif menuju tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di pelosok tanah air.
Di dalam melaksanakan pembangunan di daerah, berbagai urusan, mekanisme kerja, dana dan peralatan adalah sebagai kesatuan yang utuh dalam pelaksanaan pembangunan. Dimana dalam proses perjalanannya, hal tersebut ditempuh melalui 3 azas penyelenggaraan pembangunan yang sekaligus merupakan mekanisme pembangunan di daerah dan di dalam implementasinya mempunyai ciri dan sifat yang berbeda. Ketiga azas tersebut adalah azas Desentralisasi (Pembangunan Regional) yaitu “penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah lepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dengan system Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Dekonsentrasi (Pembangunan Sektoral) yaitu “pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepeda Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu” dan Medebeivied (Program Bantuan Pembangunan) atau yang sering disebut dengan tugas pembantuan yaitu “penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu”. Oleh karena itu, peranan pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerah sebagai tugas dan tanggung-jawabnya adalah besar. Tugas serta tanggung-jawabnya menjadi lebih berat karena peran dan fungsi gandanya, yaitu selain pemerintah daerah bertanggung-jawab menyelenggarakan urusan daerah melalui Kepala Daerah juga bertanggung-jawab urusan wilayah melalui Kepala Wilayah. Sedangkan hakekat pelaksanaan otonomi daerah adalah meliputi 3 unsur yaitu wewenang, organisasi, dan kemampuan.
Otonomi daerah yang tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata baik di daerah perkotaan sampai pelosok tanah air dirasa belum menampakkan perubahan signifikan baik kualitas maupun kuantitas terhadap pelayanan publik. Masih banyak pihak yang mengeluh atas pelaksanaan otonomi daerah. Terlebih belum jelasnya pembagian kewenangan atas urusan pemerintahan, baik pusat, provinsi kabupaten/kota, kondisi ini ditambah dengan lemahnya supervisi dari pemerintah pusat.
Ada semacam ‘kegamangan’ pemerintah pusat menyikapi otonomi daerah. Akhirnya pusat melakukan pembiaran terhadap daerah yang melaksanakan otonomi berdasarkan persepsinya sendiri, terbuukti belum adanya kesatuan konsep dalam pelaksanaan Otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah hingga saat ini masih biasa-biasa saja belum dapat mewujudkan tujuan utama dari pelaksanaan Otonomi daerah itu sendiri. Artinya belum ada terobosan besar yang dilakukan pemerintah pusat, serta masih banyak kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan UU No. 32/2004 tersebut, sehingga adanya revisi lagi atas UU No.32 tahun 2004 dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan  Daerah.
Evaluasi UU No. 32 Tahun 2004
Untuk dapat mengevaluasi UU No.32 Tahun 2004 diperlukan beberapa indikator, antara lain:
a.     Angka Kemiskinan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia menupakan salah satu dari negara yang memiliki banyak pendududuk miskin atau angka kemiskinan yang tinggi, terbukti dengan meningkatnya jumlah gelandangan, jumlah pengemis dan banyaknya orang yang tidak mempunyai tempat tinggal yang layak. Dengan adanya Otoda yang bertujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah daerah lebih dapat langsung menyentuh warganya, jika dibandingkan dengan pemerintah pusat, ternyata belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menghapuskan kemiskinan yang menjadi permasalahan klasik.


b.     Peningkatan Kualitas SDM
Untuk dapat memajukan sutu negara dibutuhkan orang-orang yang mempunyai kompetensi, dalam artian dibutuhkan Sumber Daya Manusia yang baik.
c.    Pemenuhan Hak-Hak Dasar (seperti pendidikan dan kesehatan serta hal lain yang juga terkait dengan Peningkatan/Pengembangan Kualitas SDM).
    Banyak sekali hak-hak masyarakat yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah dalam hal pelaksanaan Otonomi Daerah, pemerintah daerah sebagai tangan kanan pemerintah pusat juga belum dapat memberikan hak-hak masyarakat.Dapat diketahui bersama bahwa banyak sekali anak-anak yang putus sekolah bahkan sama sekali tidak dapat bersekolah karena mahalnya biaya pendidikan, meskipun ada satu, dua daearh yang telah mencanangkan sekolah secara gratis. Setali tiga uang dengan pemenuan pendidikan, pemenuan atas pelayanan kesehatan juga belum dapat terwujud, masih banyak masyarakat yang mendapatkan diskriminasi atas pelayanan kesehatan, terbukti dengan masyarakat yang kurang mampu, kurang mendapatkan pelayanan yang baik dibandingkan dengan masyarakat yang mampu secara ekonomi.Selain itu kurangnya kegiatan peningkatan sumber daya manusia menyebabkan adanya perbedaan yang mencolok antara kualitas masyarakat di pusat dan daerah.
d.    Lapangan Kerja dan Angka Pengangguran
Angka penganguran yang cukup tinggi menjadi masalah yang sangat serius, dan belum terdapat jalan keluara atas masalah ini.Tidak dapat dielakkan lagi jumlah penduduk yang semakin meningkat tidak di imbangi dengan jumlah laoangan kerja yang tersedia menyebabakan angka penganguran yang tinggi, bahaka lulusan sarjanapun sulit mendapatkan pekerjaan.Salah satu tujuan yang hendak di capai dalam Otonomi daerah dengan usaha pemerintah daerah membuka lapangan pekerjaan di daerah dan memanfaatkan masyarakatnya guna diserap sebagai tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi angka pengguran nasional, ternyata belum dapat terlaksana dengan baik esuai harapan.
e.    Pengembangan Infrastruktur (Minimal seperti Jalan, Penerangan dan Air   Bersih)
Pengembangan infrastruktur berupa jalan memang sudah lumayan bagus, kini masyarakat pedesaan dimudahkan dalam hal trnsportasi.Namun pembangunan tersebut terkadang tidak disertai dengan upaya perawatan.Dalam hal penerangan, pemerintah telah membuat program listrik masuk desa, yang hingga kini sudah bisa dirasakan manfaatnya. Namun hal tersebut ternyata belum merata, karena pernah ditayangkan di televisi, suatu daerah kreatif membuat pembangkit tenaga listrik menggunakan tenaga air terjun lantaran jaringan listrik tak menyentuh wilayahnya.Nasib air bersih pun hanya sebatas janji, hal ini terlihat setiap musim kemarau tiba, masyarakat terutama didaerah terpencil harus ”berjibaku” berjalan berkilo-kilo guna mendapatkan air bersih.

f.     Pertumbuhan dan Pemberdayaan Ekonomi, terkait dengan Peluang Investasi, Lapangan Kerja dan Angka Pengangguran.
    Dalam hal pemberdayaan ekonomi terkait dengan peluang investasi, lapangan kerja dan angka pengangguran, nampaknya masih menjadi ”PR” pemerintah, bagaimana tidak, pertumbuhan ekonomi yang kian sulit juga berdampak bagi pemerintahan di daerah, upaya penciptaan lapangan kerja juga masih belum terealisasi akibatnya jumlah pengangguran kian bertambah.
g.    Kualitas Pengelolaan Pemerintahan dilihat dari Prinsi-prinsip Good Governance
Kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang luas dekat dengan pentingnya kebijakan dalam membuat keputusan, hal-hal apa saja yang perlu diatur secara khusus dalam sebuah Perda, dengan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan Negara yang baik yang nantinya dapat membangun Good Governance.

Kritik Terhadap UU No. 32 Tahun 2004
Dalam pelaksanaannya dari tahun 1999 hingga saat ini sistem otonomi daerah belum bisa sepenuhnya dapat menciptakan Good Governence, masih banyak hal-hal yang belum dapat terpenuhi.Pelaksanaan asas Good Governance tidak berhasil diterapkan pada daerah yang kini berstatus otonomi, yang diartikan mandiri, karena ketidakpahaman bahwa governance merupakan prinsip pengelolaan atau cara untuk memanage layaknya perusahaan (good corporate governance) yang kemudian diterapkan pada daerah.Konsep pemikiran dari manajemen daerah adalah mengoptimalkan sumber daya yang tersedia, bukan yang mungkin tersedia.Sehingga dalam mengelola daerah tidak melakukan rancangan “angan-angan”, tetapi bagaimana mengelola potensi-potensi daerah yang selama ini terabaikan untuk kemudian menjadi andalan daerah.
Kebijakan otonomi daerah, terlepas dari euforia dan optimisme yang ditampilkannya, ternyata masih membutuhkan banyak revisi.Pemerintah pusat yang seharusnya menjadi anutan dalam pembuatan dan penerapan kebijakan yang berpihak kepada publik, malah cenderung mengutamakan kebijakan yang lebih peduli pada masalah penurunan defisit anggaran dan kesehatan fiskal daripada memenuhi kebutuhan dasar rakyat.Hak-hak dasar rakyat seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan masih menjadi prioritas kesekian di bawah kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi dan politik bukannya tidak penting dalam pelaksanaan kebijakan publik secara keseluruhan, namun mengabaikan kebijakan-kebijakan publik yang peka dan tanggap akan kebutuhan sosial rakyat, terutama yang menyangkut hak-hak dasar rakyat adalah kesalahan dasar bagi terciptanya sumber daya manusia.
    Di tengah maraknya pilkada dan euforia partai politik, serta masyarakat di daerah yang melakukan pilkada, kebijakan politik juga masih melalaikan masalah pemenuhan hak-hak dasar rakyat.Otonomi daerah tidak serta-merta mampu memenuhi target, jika tidak menjamin, hubungan pemerintah, rakyat, dan pasar yang lebih baik. Otonomi daerah seharusnya menjamin mudahnya akses informasi dan pelayanan sosial untuk masyarakat; kesadaran dan partisipasi politik masyarakat yang lebih baik serta kemajuan pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat.Tetapi otonomi daerah malah menjadi ajang untuk memperkaya diri dan perpanjangan korupsi oleh para elite politik di daerah.Yang terjadi adalah otonomi daerah malah mendorong eksploitasi negatif terhadap daerah-daerah yang ada dan tidak memberdayakan masyarakat sekitar maupun membangun daerah secara optimal dan efektif seperti yang diharapkan dari penerapan otonomi daerah itu sendiri.
    Disfungsi dan mandulnya pemerintah daerah dan DPRD penjadi salah satu penyebab gagalnya pelaksanaan otonomi daerah dengan mengorbankan hak-hak dasar rakyat.Gagalnya otonomi daerah dalam memenuhi hak-hak dasar rakyat merupakan persoalan serius.Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memastikan bahwa instrumen politik seperti pilkada mampu menghasilkan pemerintah daerah yang efektif, kredibel, dan bertanggung jawab, serta relevan dengan masyarakat dan daerah yang bersangkutan.Sementara itu, pemerintah daerah yang masih menjabat juga perlu mengambil inisiatif dan langkah strategis dalam memanfaatkan wewenangnya untuk menjalankan program-program pembangunan di daerah secara efektif dan optimal.
    Beberapa indikasi yang menjadi tidak suksesnya implementasi dan kurang berjalannya UU No. 32 Tahun 2004 adalah:
1.        Terjadi semacam rebutan kedudukan antar kaum politisi dari Parpol dan kalangan aparat birokrat yang telah meniti karir dengan jenjang pendidikan dan dengan jam terbang pengalaman yang cukup lama untuk menduduki posisi-posisi eksekutif.Bahkan disana sini terjadi “money politics” padahal menurut teriakan dan pekik reformasi semula, KKN harus dikikis habis, khususnya “suap menyuap” dalam hal pencalonan Kepala Daerah dan Wakilnya.Sampai saat ini masih ada kasus money politics ini, yang belum tuntas pemerosesannya secara yuridis.
2.        Tidak semua pihak legislatif maupun eksekutif didaerah Kabupaten dan Daerah Kota itu dinilai “siap” dalam arti menguasai pemahaman untuk menerapkan UU itu, dengan persepsi yang sama.
3.        Terdapat ketidak -pastian mengenai perlu tidaknya penyusunan Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten, disusun dengan cara menyesuaikan dengan Propeda Propinsi (termasuk Rencana Strategisnya), dan sebaliknya apakah pemerintah Propinsi masih punya kewenangan memberikan semacam arahan strategis kepada Kabupaten dan Kota.Kalaupun tidak mengakui perlunya sub-ordinasi, apakah tidak perlu lagi koordinasi, sebagai salah satu fungsi manajemen.
4. Terjadi sikap yang sedemikian Ekstrim, sehingga Daerah-daerah Kabupaten dan Kota menganggap tidak ada hubungan administratif dan fungsional sama sekali dengan Propinsi, dan beberapa KDH telah langsung berhubungan dengan Pemerintah pusat tanpa “sekedar pemberitahuan atau beri kabar pun” kepada Gubernur KDH Propinsi.
5.        Timbul kecenderungan Kabupaten untuk mengeruk sebanyak mungkin sumber PAD seakan-akan kepentingan kesejahteraan masyarakat dinomor duakan, dan belum tentu terjamin bahwa pungutan-pungutan itu akan membalik (feed back, melting process) sebagai biaya penanggulangan kepentingan kesejahteraan rakyat (public service).
6.        Terlihat adanya kecenderungan pengkavlingan wilayah kekuasaan diantara Kabupaten-kabupaten dengan semangat otonomi yang meluap-luap dan menganggap tidak harus adanya lagi campur tangan Pusat terhadap kasusnya meskipun mengaku bahwa negara ini (masih) negara kesatuan. Dalam praktek dan perkembangan di daerah-daerah, muncul pemeo bahwa penguasa sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah, telah menjadi semacam “raja-raja kecil” yang mengklaim tidak adanya lagi hubungan kordinatif dan kontrol oleh Propinsi / Gubernur terhadap Kabupaten / Bupati dan Kota / Walikota.

PENUTUP
Kesimpulan
Pelaksanaan otonomi daerah belumlah efektif.Otonomi daerah yang tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata baik di daerah perkotaan sampai pelosok tanah air dirasa belum menampakkan perubahan signifikan baik kualitas maupun kuantitas terhadap pelayanan publik.Masih banyak pihak yang mengeluh atas pelaksanaan otonomi daerah.Terlebih belum jelasnya pembagian kewenangan atas urusan pemerintahan, baik pusat, provinsi kabupaten/kota, kondisi ini ditambah dengan lemahnya supervisi dari pemerintah pusat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan termasuk dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tidak lepas dari faktor politis, setiap kepentingan ikut berpengaruh didalamnya, begitupula dalam pelaksanaannya, sehingga berpengaruh pada evaluasi terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Pemerintah daerah sendiri sebagai pelaksana, harus memahami dengan jelas apa yang ada dalam undang – undang otonomi daerah. Pemberian otonomi daerah dilakukan dengan aharapan agara pemerintah didaerah mampu memberika kesejahteraan bagi daerahnya, dan bukan bertujuan “melegalkan” pemerintah daerah untuk membentuk semacam negara bagian yang lepas dari pemerintah pusat
Selain itu dalam rumusan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 34 Tahun 2000 maupun sejumlah peraturan Menteri, memang tidak diketemukan ketentuan yang mengatur sanksi apabila Pemda tidak menyampaikan rancangan Perda tentang pajak dan retribusi kepada pemerintah. Akibatnya,Pemda ”ogah-ogahan” dan terkesan ”membangkang”.Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih belum mampu memaknai secara komprehensif dan holistik mengenai hak, wewenang serta kewajiban sebagai bagian dari pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Di sisi lain, melihat adanya ”noda” dalam pelaksanaan otonomi daerah, ini menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat belum siap menerima sebuah ”otonomi daerah”. Masyarakat belum sepenuhnya paham, apa itu otonomi, yang mereka ketahui hanyalah otonomi berarti kebebasan menjalankan pemerintahan di daerah.Bagi masyarakat, terutama di daerah, kebebasan seperti itu mereka anggap adalah kebebasan yang sebebas – bebasnya, padahal tidak seperti itu.
Saran Dan Solusi
Dalam pelaksanaannya UU No. 32 Tahun 2004 ternyata memang tidak sesuai dengan harapan yang dititipkan ketika kebijakan mengenai otonomi daerah ini pertama kali dirumuskan.Dari berbagai kelemahan yang ada dan telah disebutkan,mungkin tersedia beberapa alternative solusi yang dapat digunakan memperbaiki kelemahan yang ada.Meskipun tidak serta merta akan menghilangkan permasalahan,namun setidaknya mampu mereduksi berbagai kelemahan,solusi tersebut antara lain:
1.    Pemerintah dalam menyusun suatu kebijakan hendaknya benar – benar memperhatikan asas – asas umum pemerintahan yang baik.
2.    Pemerintah daerah, hendaknya menyadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah sebenarnya merupakan salah satu upaya pemerintah memajukan kesejahteraan daerah dan bukan untuk melegalkan pemerintah daerah lepas dari pemerintah pusat.
3.    Masyarakat hendaknya berpartisipasi dalam mensukseskan penyelenggaraan otomi daerah, dengan memahami hakikat otonomi daerah yang sebenarnya.
4.    Faktor yuridis sebagai dasar dalam pelaksanaan kebijakan.Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah diperlukan adanya sebuah Perda sebagai dasar hukum dilaksanakannya sebuah kebijakan di suatu daerah.
5.    Adanya koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sector swasta, LSM, aparat penegak hokum serta komponen masyarakat.
Dengan beberapa hal itu diharapkan mampu mengawal pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 sehingga tercipta Otonomi Daerah yang kondusif dan baik.
Daftar Pustaka
•    Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
•    Kumpulan Materi Perkuliahan Mata Kuliah Kebijakan Publik Universitas Airlangga
•    http://www.suara-daerahonline.com (diakses pada 20 Juni 2011 Pkl. 13.00 WIB)
•    http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi6/6kolom_2.html (diakses pada 20 Juni 2010 Pkl. 15.00 WIB)
•    http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080704121619 (diakses pada 20 Juni 2011 Pkl. 13.13 WIB)
•    http://www.asosiasi-politeknik.or.id/index.phpmodule=aspi_jurnal&func=display&jurnal_id=269 (diakses pada 20 Juni 2011 Pkl. 13.25)
•    www.freelist.org (diakses pada 20 Juni 2011 Pkl. 14.10 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar